Jumat, 03 Juni 2016

Mengapa istilah Ekonomi Syari’ah itu salah ?


A. Pembahasan
Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain. Syariat dalam istilah syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat dalam penjelasan Qardhawi adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas. Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat. (Pengertian syari’ah.blogspot.com, 1 Juni 2016)

Permasalahn pertama, dalam konteks Syari’ah apa yang dilakukan dalam kegiatan syari’at adalah jelas dan tegas karena mengandung perintah beserta hokum – hokum allah kepada hambanya. Dan ketika kata ekonomi disandingkan dengan label syari’ah maka konsekuensinya harus menerapkan semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi dengan konsep – konsep syari’ah yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Serta sumber interpretasi dari wahyu yang disebut dengan ijtihad. Menurut Prof. Dr. Zainuddin Ali, Pengertian Ekonomi Syariah atau Pengertian Ekonomi Islam adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari alquran dan hadist yang mengatur perekonomian umat manusia. Namun prakteknya masih banyak kegiatan ekonomi yang masih menyalahi syari’ah, terutama di dalam lembaga keuangan. Di dalam lembaga keuangan syari’ah masih banyak kekurangan dalam penerapan konsep syari’ah. Penerapan sebuah denda di dalam kegiatan pinjaman juga  sangat menyalahi aturan dalam syari’ah islam. Kemudian tantang produk yang dikeluarkan perbankan syari’ah juga terlalu singkat waktu untuk mengkaji ataupun memberi rekomendasi tentang halal tidaknya sebuah produk tersebut. Permasalahan yang sangat besar dihadapi lembaga perbankan syari’ah adalah tentang pemberian fatwa. Karena dalam pemberian fatwa sering terjadi perbedaan pendapat, padahal ketika memberikan sebuah fatwa harus didasari dengan bukti dan sumber yang jelas.


Dalam konfrensi perbankan syari’ah di suriah, Dekrit Mufti Suriah, Kebijakan Dr. Ahmad Hassoun mengubah nama Islamic banking menjadi partnership ‘kemitraan’ telah menggemparkan dunia keuangan Islam dan pendukungnya. Dr. Hassoun membenarkan seruannya untuk mengubah nama menjadi kemitraan dengan fakta kekhawatirannya mendengar “Bank Yahudi” atau “Bank Kristen” di masa depan, karena sekarang ada orang-orang yang menyerukan untuk membentuk “Bank Hindu”. Dalam wawancara dengan Asharq Al-Awsat mengenai masa depan perbankan Islam, Dr. Hassoun mengatakan, “Kita harus memikirkan universalitas sebelum kita dikuasai dan dihancurkan oleh globalisasi. Urusan perbankan dan keuangan tunduk pada aturan syariah dan tidak memihak. Oleh karena itu, mengingat hal tersebut dan cara-cara berinvestasi, ketika kita berbicara tentang kemitraan dalam bisnis kita ingin lembaga itu didasari oleh nilai-nilai etika dan iman.” Dr. Hassoun menambahkan, “Kita ingin lembaga ini didasari oleh nilai-nilai etika dan iman; bukan besaran dananya.” Mufti Suriah melanjutkan, “Kita tidak ada masalah dengan keterlibatan kerja sama dengan berbagai macam bank, selama hal itu sesuai dengan prinsip kemitraan. Pembiayaan yang menggabungkan perbankan tradisional [konvensional] dan perbankan Islam [syariah] diperbolehkan jika didasari pada kemitraan. Iman turun dari Allah untuk melayani manusia, dan bukan untuk mengeksploitasinya; biarkan iman memfasilitasi kehidupan manusia, dan bukan untuk membelenggu kehidupannya.” (ejajufri.wodpress.com, 1 Juni 2016)

Kedua, kita harus menyadari bahwa di dunia ini terdapat beberapa agama, ras dan suku yang kadang kala memiliki kebudayaan dan keyakinan masing – masing. Maka sebab itu penggunaan istilah dalam segala hal yang bersifat umum sudah seharusya juga diperhatikan. Sebisa mungkin dalam penggunaan dan pemeberian unsur agama dalam sebuah kegiatan perekonomian seharusnya mengedepankan kepentingan bersama. Seperti istilah Ekonomi syari’ah yang dalam kanca internasional tidak seharusnya dipakai karena dapat memicu persaingan dan interfrensi kelompok lain. Contohnya ketika nama sebuah lembaga perbankan syari’ah yang pada konfrensi perbankan syari’ah di suriah diganti dengan bank kemitraan. Nama tersebut akan membuat kita keluar dari kerangka kerja yang terbatas menuju cakrawala yang lebih luas di mana seseorang dapat berpartisipasi dengan sesamanya dalam bisnis, pembiayaan, dan investasinya. Terlepas dari kenyataan bahwa perbankan Syari’ah tidak mengecualikan siapapun untuk bekerja sama dengannya karena latar belakang agama atau etnik, hanya saja nama atau kata syari’ah yang erat dengan agama islam mungkin memberikan non-muslim kesan bahwa lembaga ini mengesampingkan kelompoknya dari bekerja sama dengan mereka. Hal ini karena orang berharap lembaga ini membantu mereka dalam bisnis, dan tidak menjadi beban berat yang menghalangi mereka mencapai harapan, atau setidaknya sebagian dari harapan mereka.

Begitu juga ketika kita membahas ataupun mendengar kata ekonomi syari’ah, maka yang ada di pikiran kita adalah tentang satu sudut pandang islam saja yang kedepannya hanya akan memberikan dampak persaingan dan keterbatasan ruang lingkup dalam kegiatan ekonomi. Aktifitas ekonomi dan kerja sama antar sesame juga akan terhambat karena mereka akan takut memasuki lingkungan yang tidak mereka kenal. Maka dari itu istilah ekonomi syari’ah itu salah. 

B. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek lembaga dan kegiatan ekonomi syari’ah yang ada saat ini belum memenuhi kriteria syari’ah penggunaan label syari’ah hanya sebatas untuk menjangkau atau memperluas nasabah saja namun praktek yang di jalanakan belum sesuai syari’ah yang berlaku. Kedua untuk penggunaan label sayari’ah dalam kegiatan ekonomi juga akan membatasi ruang lingkup satu kelompok dan akibatnya akan membuat beberapa kelompok akan membuat hal yang sama sesuai dengan keyakinan masing – masing. Karena mereka merasa tersisikan dan tidak mendapatkan akses dalam kegiatan ekonomi maupun kerja sama. Maka dari itu penggunaan istilah ekonomi syari’ah dalam kegiatan ekonomi international itu salah atau kurang tepat. Seharusnya menggunakan istilah yang lebih umum sehingga tidak membatasi dan dapat mencakup semua elemen masyarakat secara luas. Mainset mereka terhadap ekonomi bisa lebih universal dan tidak tersekat – sekat oleh agama , suku dan budaya. 

DAFTAR PUSTAKA
•http://pengertiandarisyariah.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-syariah.html,diunduh pada tanggal 1 Juni 2016
•https://ejajufri.wordpress.com/2010/04/29/mufti-suriah-bicarakan-masa-depan-bank-syariah/  diunduh pada tanggal 1 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar